Setiap orang pada dasarnya membutuhkan sebuah perlindungan akan keselamatan dan fisiknya, karena dengan begitu mereka bisa menjadi manusia yang selamat dan sehat secara fisik dan psikis untuk menjalani kehidupannya. Begitu juga dalam dunia kerja, setiap pekerja membutuhkan hal sama yaitu keselamatan dan kesehatan dalam menjalankan aktivitasnya (occupation) di dunia kerja. Karena pemenuhan kebutuhan itu dibebankan atau menjadi tanggung jawab atau kewajiban pihak lain, maka kebutuhan itu menjadi sebuah hak,. Sebgai hak maka secara yuridis pemenuhannya bisa dituntut kepada siapa yang diberikan beban atau kewajiban untuk melakukannya. Hak ini pada dasarnya tidak bisa dicabut atau diabaikan oleh pihak lain, meskipun itu berdasarkan kesepakatan bersama karena ia diposisikan sebagai sesuatu yang melekat pada pekerja untuk mendapatkan perlindungan akan kselamatan dan kesehatan selama mereka melakukan aktivitas kerja.
Rumusan yang menempatkan K3 sebagai hak itu sejalan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan lain yang terkait dengan hajat atau kepentingan orang banyak. Upaya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja itu bukan hanya sebuah kebutuhan yang mempunyai konsekuensi yuridis untuk pemenuhannya. Rumusan demikian sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia diberbagai bidang kehidupan, baik diranah public atau juga diranah privat. Sebagai sebuah hak, maka ada semacam penegasan dari otoritas public untuk memksakan pemenuhannya, lain halnya jika ia hanya dinyatakan sebagai kebutuhan yang bersifat umum dan tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atau berkewajiban untuk memenuhinya. Oleh karena itu keberadaan K3 sebagai hak itu dipersandingkan dengan sebuah kewajiban yang dibebankan kepada otoritas public dan juga perusahaan untuk memenuhinya.
Menurut sejumlah peraturan perundang-undangan, K3 secara tegas dinyatakan sebagai hak tenaga kerja/pekerja, sebaliknya menjadi kewajiban bagi pengusaha dan juga tanggung jawab pemerintah untuk mengaturnya. Rumusan ini sejalan dengan rumusan perlindungan pekerja yang berlaku pada tataran internasional dimana hak tenaga kerja/pekerja ini diakui sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM). Semua rumusan itu seolah menegaskan, atau menjadi sesuatu yang tidak terbantahkan, bahwa keberadaan K3 itu sangat penting dan krusial pemenuhannya. Dengan rumusan sebagai hak pekerja dan kewajiban pengusaha diharapkan proses pemenuhannya menjadi lebih mudah, karena jika tidak dilakukan akan membawa konsekuensi yuridis kepada siapa yang dianggap melanggar atau melalaikan kewajiban tersebut. Tidak terkecuali kepada pemerintah atau otoritas public yang dianggap bertanggung jawab untuk mengatur, mengelola atau mendorong terselenggaranya pemenuhan hak pekerja tersebut.
Setiap upaya pemenuhan kebutuhan dan hak pekerja tersebut secara filosifis merupakan bagian yang sangat penting untuk menjamin kebutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Hal demikian sejalan dengan tujuan konstitusional dalam berbangsa dan bernegaranya dimana setiap warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 UUD 1945). Dalam tataran praktisnya juga demikian bahwa perlindungan akan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa yang mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja karenanya keberadaan K3 adalah sesuatu yang niscaya pemenuhannya agar hubungan industrial itu bisa terselenggara dengan sebaik baiknya.
Secara normative dan filosifis keselamatan dan kesehatan adalah asset yang tidak ternilai harganya. Keselamatan dan kesehatan seseorang merupakan bagian utama kesejahteraan. Sementara itu kesejahteraan tenaga kerja mustahil diwujudkan dengan mengabaikan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Oleh karena itu sejak awal kemerdekaan ada upaya serius dari penyelenggara Negara, sehingga untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya, maka antara lain diterbitkan UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.12 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Di dalam pasal 87 (1): UU No.13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan dinyatakan bahwa setiap perusahaan wajib menetapkan system manajemen k3 yang terintegrasi dengan system manajemen perusahaan. Terkait dengan ketentuan tersebut adalah pada pasal 3 ayat 1 dan 2 dimana di dalamnya dinyatakan bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan system manajemen K3 (SMK3). Dengan demikian kewajiban penerapan SMK3 didasarkan pada dua hal yaitu ukuran besarnya perusahaan dan tingkat potensi bahaya yang ditimbulkan.
Sejatinya upaya perlindungan terhadap tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Semua peraturan perundangan yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan dunia kerja juga mempunyai tujuan yang sama untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja, sekalipun tidak secara eksplisit dinyatakan demikian. Misalnya, UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sector perhubungan di atas, regulasi yang berakitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industry manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.
Semua peraturan perundangan itu muaranya sama, meskipun tidak secara eksplisit mengatur tentang bagaimana perlindungan akan keselamatan dan kesehatan kerja itu dilakukan. Serangkaian kebijakan yang terkait dengan upaya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) itu akan digunakan sebagai instrument untuk memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Terlepas bahwa upaya pelindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib di penuhi oleh perusahaan, maka keberadaannya itu secara umum bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risko kecelakaan kerja ke titik yang paling rendah (zero accident). Bagi perusahaan kewajiban demikian ini tidak boleh dianggap sebagai kegiatan yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang member keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.